Pendahuluan
Kebahagiaan sering kali digunakan dalam konteks kondisi mental atau emosional, termasuk emosi positif atau menyenangkan mulai
dari kepuasan hingga rasa sukacita. kebahagiaan juga digunakan dalam konteks
kepuasan hidup, kesejahteraan subjektif, eudaimonia, berkembang dan
kesejahteraan [1].
Dalam Nicomachean Ethics (2002), Aristoteles menyatakan bahwa
kebahagiaan adalah satu-satunya hal yang diinginkan manusia untuk
kepentingannya sendiri, tidak seperti kekayaan, kehormatan, kesehatan atau
persahabatan. Aristoteles mengamati bahwa pria mencari kekayaan,
kehormatan, atau kesehatan bukan hanya untuk kepentingan mereka sendiri tetapi
juga untuk menjadi bahagia [2]. Bagi Aristoteles eudaimonia, istilah yang biasa
diterjemahkan sebagai "kebahagiaan", adalah suatu yang lebih daripada
emosi atau keadaan.
Meski kebahagiaan bisa
dikatakan sebagai konsep yang relatif; memiliki banyak definisi, dan sumber
kebahagiaan untuk satu orang mungkin bukan sumber kebahagiaan bagi orang lain.
Namun telah menjadi umum bahwa diskusi kebahagian selaluh mengarah kepada
pemikiran “eudaimonia” Aristoteles (meski ada juga pencarian kebahagian dengan
pendekatan hedonic), tak terkecuali diskusi kebahagian dalam perspektif para
filosof muslim, seperti Ibn Miskawayh, Ibn Sīnā,
dan al-Ghazāli.
Makalah ini
mendiskusikan pandangan tiga filosof besar muslim tentang kebahagian. Ibn
Miskawayh dengan Tartīb al-Saʿādāt nya telah meletakkan kerangka kerja tentang kebahagiaan,
dan dalam karyanya tersebut kita dapat mengetahui gagasannya tentang kebahagian
[3]. Ibn
Sīnā
dan Aristoteles sepakat menyatakan bahwa kebahagian memiliki tahapan yang
berbeda, dan bahwa orang yang bahagia bergerak ke arah akal murni, atau
pemikiran murni, yaitu Tuhan. Karena Tuhan tidak terbatas, gerakan itu dapat
berlanjut hingga tak terbatas. Dengan cara ini, manusia mencapai kebahagiaan
sejati [4]. Bagi al-Ghazāli, kunci kebahagian
adalah intelektual, kemampuan akal. Hanya dengan melatih kemampuan akal manusia
- kemampuan yang diberikan Tuhan - dapat mengubah jiwa dari keduniawian menjadi
ketaatan penuh kepada Tuhan, hingga memperoleh kebahagiaan tertinggi [5].
Ibn
Miskawayh
Nama lengkapnya adalah
AbūʿAlī Aḥmad ibn Muḥammad ibn Yaʿqūb ibn Miskawayh. Ia dilahirkan di
kota Ray sekitar tahun 330 H. Kakeknya dikenal sebagai penganut agama Majusi
yang kemudian masuk Islam [6].
Pelajaran yang pernah
digelutinya antara lain sejarah yang dipelajarinya dari Abū
Bakr Ahmad ibn Kamīl al-Qadī.
Sementara filsafat dipelajarinya dari Ibn al-Kamāl
dan ilmu kimia dipelajarinya dari al-Rāzī. Di samping itu ia
juga menghabiskan sebagian waktunya guna mendalami bahasa dan sastra Arab [7].
Ibn Miskawayh hidup di
zaman Dinasti Buwaihi. Kemudian beliau meninggalkan kota Ray menuju ke kota Baghdad
dan mengabdi pada Pangeran Buwaihi. Ketika kembali ke Ray, ia dipercaya menjaga
perpustakaan besar yang menyimpan banyak buku, sehingga beliau digelar dengan
al-Khazin [8].
Label “filsuf moral
utama Islam,” adalah cocok disematkan kepada ibn Miskawayh. Dia merupakan hasil dari lingkungan
intelektual kaya yang terpancar dari Baghdad saat itu. Ibn Miskawayh
adalah salah satu pendukung penting dari kecenderungan filosofis etika dalam
budaya Islam Abad Pertengahan, bersama dengan al-Kindī, al-Rāzī, al-ʿĀmirī. , al-Fārābī, Ibn Sīnā, Ibn Rush, Naṣīr al-Din al-Ṭūsī, dan Jalāl al-Din al-Dawwani. Ibn Miskawayh dengan karyanya Tahdhīb al-Akhlāq, menjadi tonggak penting dalam pengembangan etika
filosofis dalam peradaban Islam [9].
Diakui bahwa Tahdhīb al-Akhlāq menjadi sumber penting kajian etika berikutnya di saat
itu, dari Naṣīr al-Din al-ṬūsīAkhlāq-i Naṣīrī, dan Jalāl al-Dīn al-Dawwānī's dengaAkhlāq al-Jalālī, [9]
dan bahkan untuk beberapa bagian dari karya imam al-Ghazālī IḥyāʿUlūm al-Dīn dan juga Kīmyāʾ al-Saʿāda.
Kebahagian Menurut Ibn Miskawayh
Konsepsi kebahagian perspektif Ibn Miskawayh tak terlepas
dari pembahasan tentang jiwa (nafs) dan etika (akhlak). Ibn Miskawayh
menyimpulkan bahwa jiwa (nafs) bukan jism dan ardh dan bukan
bagian dari tubuh, dan lagi jiwa bersifat mulia, tidak berubah dan hancur [10].
Jiwa selalu condong kepada pengetahuan tentang tuhan, dan bahagia dengannya.
Ibn Miskawayh dikutip oleh Nizar, membagi potensi atau daya
jiwa menjadi tiga,; (i) daya berpikir (al-quwwah al-natīqah), kemampuan untuk berpikir dan mengetahu hakikat sesuatu,
(ii) daya amarah (al-quwwah al-ghadabiyah), kemampuan untuk marah, menolong, keberaniaan,
cenderung untuk menguasai dan keinginan untuk selalu dihormati, (iii) daya
syahwat (al-quwwah al-syahwatiyah), daya yang selalu meminta makananan
dan cenderung kepada kenikmatan makanan, minuman, menikah [11].
Akhlak menurut Ibn Miskawayh adalah keadaan jiwa yang
melahirkan perbuatan tanpa pikiran dan perenungan. Keadaan jiwa tersebut
terbagi menjadi dua, yaitu yang berasal dari watak dan yang berasal dari
kebiasaan atau latihan [10]. Akhlak yang bersumber dari watak sangat jarang
menghasilkan akhlak yang baik, sedangkan pembiasaan dan latihan lebih dapat
menghasilkan akhlak yang baik. Oleh karena itu, Ibn Miskawayh sangat menekankan
pentingnya pendidikan untuk membentuk akhlak yang baik, terlebih lagi pada masa
anak-anak yang menurutnya merupakan mata rantai antara jiwa hewani dan jiwa
manusia [11].
Ibn Maskawih membedakan antara kebaikan dengan kebahagiaan.
Kebaikan merupakan hal yang dapat dicapai oleh manusia dengan melaksanakan
kemauannya dan dengan berupaya dan dengan hal-hal yang berkaitan dengan tujuan
manusia. Bahkan apa yang berguna bagi pencapaian tujuan tersebut adalah baik,
misalnya sarana-sarana dan tujuan itu sendiri dapat disebut kebaikan [6].
Terkait konsep kabaikan Ibn Maskawih diyakini terpengaruh oleh konsep kebaikan
mutlak dari Aristoteles, yang mana kebaikan mutlak akan mengantarkan manusia
pada kebahagiaan sejati.
Diskusi kebahagian dicatat oleh Ibn Miskawayh dalam
karanganya yang berjudul Tartīb al-Saʿādāt. Karya ini menelurkan diskusi kebahagiaan selanjutnya
dalam al-Fawz al-Aṣghar dan Tahdhīb al-Akhlāq.Tartīb al-Saʿādāt memberi kita beberapa wawasan ke dalam pandangan awal Miskawayh
tentang gagasan kebahagiaan, yang mana Ibn Miskawayh membagi kebahagian menjadi
tiga tipe.
Tipe pertama adalah kebahagiaan umum (al-saʿāda al-ʿāmma), yang berhubungan dengan kegiatan musyawarah (rawīya) dan pembagian (tamyīz) di mana alasan (ʿaql) mengambil bagian. Makna kebahagiaan
ini “ada untuk setiap manusia; dan setiap orang dapat mencapainya dan
mencapainya sesuai dengan tingkat kemanusiaannya (bi qadr rutbatihi min al-insāniyya), ”ketika seseorang memperoleh
kebaikan dan kebajikan. Potensi kebahagiaan ini diberikan kepada semua manusia
melalui konstitusi alami mereka (fiṭra) dan disposisi alamiah tertinggi (al-jibla
al-ūlā); secara alami, beberapa unggul atas orang lain sesuai
dengan penggunaan mereka atas konstitusi dan disposisi alami ini. Tetapi dengan
alasan, kita dapat membedakan (numayyiz) perbuatan yang indah dari yang
jelek dan setiap orang mampu memperoleh (taḥṣīl) karakter moral yang lebih mulia (khuluq), bahkan jika,
pada awalnya, itu tidak ada: seseorang dapat mengubah karakter karakter buruk
dengan melakukan perbuatan baik dan mengubah kinerja mereka menjadi sifat kedua
seseorang [3].
Tipe kedua adalah kebahagiaan khusus (al-saʿāda al-khāṣṣa) — “yang khusus untuk orang yang berpengetahuan (ṣāḥib al-ʿilm) atau orang yang memiliki keahlian yang sangat baik (ṣināʿa).” Ini lebih
spesifik daripada tipe kebahagiaan pertama, yang pertama menjadi prasyarat
untuk yang terakhir. Kebahagiaan khusus bervariasi sesuai dengan berbagai
keahlian (ṣināʿāt) (ilmu pengetahuan atau kerajinan), serta sesuai dengan
cara mereka menghasilkan kegiatan mereka, apakah dengan pandangan yang tepat (ra'y),
musyawarah (rawīya),
atau membedakan (tamyīz). Sebagai contoh, kebahagiaan ilmuwan akan berbeda dari
yang satu seorang penulis, bahwa dari sarjana yang tahu banyak disiplin ilmu
dari yang hanya tahu satu disiplin ilmu [3].
Jenis ketiga — kebahagiaan tertinggi (al-saʿāda al-quṣwā) —adalah yang oleh Miskawayh dianggap
oleh para filsuf telah diabaikan, karena tidak terlalu memperhatikan
kesempurnaan jarak jauh ini (al-kamāl al-baʿīda) disamakan dengan kebahagiaan tertinggi. Kebahagiaan
tertinggi ketiga dan mulia ini, bagaimanapun, tidak diberikan kepada, atau
dapat dicapai oleh semua orang. Hanya sedikit pencari yang mencapai kebahagiaan
tertinggi ini dan mereka melakukannya, berjalan secara bertahap, hanya dengan
banyak usaha (ḥirṣ), berjuang (ijtihād), kesehatan membedakan (tamyīz), dan kecerdasan (dhakāʾ). Namun, yang lain, perlu mendapat manfaat dari pengalaman
dan kebijaksanaan mereka yang, sebelum mereka, telah mencapainya, Aristoteles
menjadi yang pertama yang mencapai tujuan akhir (al-ghāya al-akhīra) sebagai tujuan akhir (al-gharaḍ al -aqṣā) [3].
Terlepas dari tiga tipe atau tingkatan kebahagian di atas,
Ibn Miskawayh juga membagi kebahagian dari atributnya menjadi tiga. Yang
pertama adalah kebahagiaan jiwa yang terletak pada hal-hal seperti perolehan
ilmu (ʿulūm) dan pengetahuan (maʿārif); kebahagiaan ini mengarah ke kebijaksanaan (nihāyatuhā al-ḥikma), dan kebahagiaan itu adalah yang paling (aqṣāhā) [dari semua kebahagiaan], karena itu
dicari untuk dirinya sendiri dan bukan yang lain. Yang kedua adalah kebahagiaan
tubuh yang terletak pada hal-hal seperti kecantikan, kesehatan yang baik dan
temperamen yang baik (mizāj) yang juga dicari untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk
tujuan lain. Dan yang ketiga adalah kebahagiaan yang bergantung pada apa yang
terletak di luar tubuh dengan hal-hal yang dibesarkan baik dari anak-anak,
teman, perbedaan, atau kekayaan, yang semuanya tetap tidak lengkap (nāqiṣa) {[3].
Pembahasan luas terkait tiga tipe atau tingkatan kebahagian
di atas dibahas dalam karyanya Tahdhīb al-Akhlāq.
Referensi
[1] Paul Anand, Happiness Explained,
Oxford: Oxford University Press, 2016
[2] Aristotle,
Nicomachean Ethics, Sarah Broadie & Christopher Rowe eds., Oxford:
Oxford University Press, 2002.
[3] Roxanne
D. Marcotte, "Ibn Miskawayh's Tartīb al-Saʿādāt
(The Order of Happiness)," dalam Monotheism & Ethics Historical and
Contemporary Intersections among Judaism, Christianity and Islam, ed. Y.
Tzvi Langermann, pp.141-161, Leiden: Brill 2012.
[4]
Hojjatollah Raftari, “Happiness in View of
Aristotle and Avicenna,” International Journal of Social Science and
Humanity, vol. 5, no. 8, pp.714-719, 2015
[5] al-Ghazzālī, The Alchemy of Happiness,
ditrj. Daniel Elton D. dan Daniel, Claud Field, New York: Routledge, 2015
[6] Safii, “Ibn Miskawayh Filsafat al-Nafs dan
al-Akhlāq,” Teologia,
vol. 25, no. 1, 2014.
[7] Yunasril Ali, Perkembangan Pemikiran
Filsafat dalam Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1991.
[8] Hasyimiyah Nasution, Filsafat Islam,
Jakarta: Gajah Mada Press, 1999.
[9] Majid Fakhry, Ethical Theories in Islam,
2nd edition, Leiden: Brill, 1994.
[10] IbnMiskawayh, Tahdhīb
al-Akhlāq,
Beirut: American Univ. Press, 1966.
[11] Nizar, “Pemikiran Etika Ibn Miskawayh” Jurnal
Aqlam -- Journal of Islam and Plurality, vol. 1, no. 1, 2016
[13] Henry Corbin, Avicenna and the Visionary
Recital (Mythos Series), ditrj. Willard R. Trask, New Jersey: Princeton
University Press, 2014.
Komentar
Posting Komentar