Fitrah, Ruh dan Nafs: Tiga Unsur Dasar yang Membentuk Sifat Manusia [Bagian 2]

Fitrah, Ruh dan Nafs: Tiga Unsur Dasar yang Membentuk Sifat Manusia

Ruh
Ruh dalam bahasa Arab ‘روح' merupakan unsur dalam penciptaan manusia yang ada dalam jasad  mereka, sebagian orang mengatakan ruh sebagai penyebab kehidupan, dan ruh dianggap sesuatu yang suci, karena bersumber langsung dari dari Allah. Ruh dapat dikatakan adalah bagian yang abadi dari manusia dan esensi manusia [10]. Penggunaan ruh lebih banyak merujuk kepada sesuatu yang menyebabkan hidup, bergerak, memperoleh manfaat dan juga mengelak daripada kemudharatan [11].
Ruh dibedakan dengan nafs ‘jiwa’ karena ruh bersifat positif dan tidak pernah condong ke negatif, sedangkan jiwa dapat condong ke negatif dan positif [12]. Karena ruh adalah kualitas Allah, yang dengan ruh manusia memiliki pengetahuan inheren tentang keesaan Tuhan dan kemampuan untuk memperoleh pengetahuan sejati “tawhid”.
Menurut Ghayur Ayub, banyak ahli teosofi Islam tidak membedakan antara Ruh (roh) dan Nafs (jiwa), yang akibatnya banyak penggunaan kata ruh dalam bentuk tunggal maupun jamak, yang identik dengan jiwa, seperti arwah al-insani atau arwah al-haiwani. Hali ini bertentangan dengan penafsiran Al-Quran karena Quran selalu menyebut 'ruh' dalam bentuk tunggal [12].

sumber gambar: Republika

Ruh memiliki andil dalam membentuk kepribadian manusia. Dengan ruh yang ada dalam dirinya, manusia dapat menundukkan kebutuhan-kebutuhan jasmaninya untuk sesuai dengan tuntunan ilahi. Ruh ilahiah adalah atribut yang mengangkat manusia ke tingkat kesempurnaan, ahsani taqwim. Apabila manusia menolak dari atribut tersebut, ia akan jatuh meluncur ke tempat kejatuhan manusia [13].
Sebagian spiritualis berpendapat bahwa manusia pada dasarnya adalah roh yang sementara dikaitkan dengan tubuh manusia yang datang ke dalam sifat sejati sendiri setelah berpisah dari tubuh pada saat kematian. Saat kematian, koneksi roh dengan tubuh terputus sepenuhnya, meskipun roh tidak mati [14].
Ada dua kondisi yang disebutkan ruh berpisah dari tubuh. Pertama disebut kematian kecil ‘al-Wafat al-Sugra’, yaitu kondisi tidur, dan kedua disebut kematian besar ‘al-Wafat al-Kubra’, kematian sebenarnya. Saat tidur, ruh berangkat dari tubuh, dalam pengertian tidak sepenuhnya berpisah dari tubuh fisiknya, melainkan, mengembara, tetap dalam satu atau lain cara ia berada dalam tubuh [15].
Peredebatan terjadi tentang konsep ruh di kalangan masyarakat umum, dengan pertanyaan ‘apakah ruh seseorang yang meninggal dapat menjadi hantu yang gentayangan?’ dan ‘di mana keberadaan ruh saat terjadi phenomena kerasukan (jin) dalam diri manusia?’.
Hantu dipahami oleh kebanyakan orang sebagai ruh dari manusia yang bergentayang di di muka bumi. Padahal, manusia setelah mati, manusia akan berada kehidupan alam kubur. Mengapa dikatakan kehidupan karena di dalam kubur manusia melakukan interaksi, seperti pertemuan dengan dua malaikat penanya yang bernama Munkar dan Nakir, manusia ditanya tentang keimanan mereka. Manusia juga mengalami siksaan di dalam kubur dari akibat perbuatan jahat mereka di muka bumi. Jelasnya alam kubur adalah tempat bagi manusia untuk menanti datangnya hari kiamat dan hari manusia dibangkitkan. Menyebutkan hantu sebagai menifestasi dari ruh manusia dapat mencederai kesucian ruh itu sendiri.
Ada penjelasan yang menarik dari Nur al-Din al-Halabi, tentang ruh setelah manusia mati;
“Setelah pemisahannya dari tubuh, ruh akan mempertahankan hubungan yang kuat (taa11uq) dengannya atau dengan apa yang tersisa darinya. Ruh itu tidak binasa, meskipun tubuhnya menyusut, tertelan oleh bumi, oleh binatang buas, oleh burung atau api. Berkat hubungan yang kuat ini (antara tubuh dan ruh), orang yang meninggal dapat mengetahui siapa yang mengunjungi dia dan menikmati balasan perbuatannya. Berkat ini, dia juga akan dapat membalas sapaan jika dia disambut, seperti yang kita ketahui secara pasti dari Hadits. Dalam sebagian besar kasus, hubungan yang kuat ini tidak akan membuat orang yang mati hidup kembali, dalam arti kehidupan di dunia saat ini, tetapi itu akan membuatnya menjadi sesuatu di antara (muzawassi) yang hidup dan mati, dengan 'mati’ berarti di sini bahwa tidak ada hubungan kuat antara jiwa dan tubuhnya yang ada lagi. Tautan ini bahkan menjadi begitu kuat sehingga orang mati menjadi seperti seseorang yang hidup di dunia ini, bahkan jika dia tidak memiliki kapasitas untuk melakukan tindakan sesuai dengan kehendaknya” [16].
Terkait phenomena kerasukan Jin, percaya terhadap keberadaan Jin sendiri merupakan bagian dari rukun Iman, percaya terhadap hal-hal ghaib, keberadaannya telah disebutkan oleh al-quran. 
Para ulama berbeda pendapat tentang Jin. Pertama, bahwa sesungguhnya jin dan setan itu asalnya satu. Keduanya merupakan anak-anak iblis sebagaimana manusia semuanya merupakan anak-anak Adam. Di antara mereka ada yang mukmin dan ada juga yang kafr. Yang mukmin adalah jin yang taat kepada Allah sedangkan yang kafr adalah jin yang menentang perintah Allah dan selalu berbuat maksiat yang disebut dengan setan. Yang berpendapat demikian adalah Imam Hasan al-Bashri. Pendapat kedua, menyatakan bahwa jin adalah anak keturunan jin juga. Mereka bukanlah setan. Di antara mereka ada yang mukmin dan ada pula yang kafr. Mereka makan, minum, menikah dan mati. Adapun setan, mereka adalah anak-anak iblis dan tidak mati kecuali bersamaan dengan matinya iblis pada hari kiamat, asal jin itu berbeda dengan asal setan. Pendapat ini dikemukakan oleh Ibnu Abbas [17].
Dalam literature barat tentang Jin, Jin diyakini mendiami tempat-tempat terpencil, suram, gelap di mana mereka ditakuti. Jin ada tanpa terlihat di antara manusia, hanya terdeteksi dengan indra keenam. Tidak seperti iblis, mereka tidak selalu jahat, tetapi memiliki kapasitas kehendak bebas [18].
Jin dapat mempengaruhi manusia dalam berbagai cara. Mereka dapat berbisik ke telinga orang-orang, mendesak mereka untuk melakukan tindakan yang benar atau dosa. Mereka juga dapat merasuki orang-orang secara langsung, kerasukan oleh jin jahat diyakini menyebabkan kegilaan dan membutuhkan eksorsisme (ruqyah) [18].
Menurut laporan individu yang mengaku pernah dirasuki, mereka mengatakan bahwa selama jin merasuki tubuh mereka, kemampuan spiritual mereka, seperti indra keenam, menjadi meningkat [19]. Kerasukan juga dapat menyebabkan kerusakan fisik, seperti memar yang tidak dapat dijelaskan atau tanda muncul secara spontan [20].
Fenomena kerasukan –pengambilalihan kontrol tubuh manusia- dapat memperjelas bahwa ruh bukan pusat gerak dari kehidupan manusia. ruh hanyalah sumber kehidupan manusia, ruh membangkitkan jiwa (nafs) pada diri manusia, yang memiliki fungsi berpikir (kognitif) dan perasaan (afektif) . Ketika ruh bersatu dengan raga, dan manusia mengalami proses perkembangan dan pertumbuhan, ini juga menimbulkan pengembangan jiwa. Ketika fungsi ini sedang dalam penurunan fungsi atau kesadaran oleh sebab tak menentu, Jin mencoba mengambil alih control manusia. saat kerasukan, sebagian orang merasa sadar namun tak punya control, sedangkan sebagian orang lainnya kehilangan kesadaran total,
Dalam Islam tidak ada keraguan bahwa roh adalah esensi dari manusia, dan tubuh hanyalah kendaraan untuk manifestasi ruh di dunia ini. Keberadaan ruh menyempurnakan penciptaan manusia, karena ruh adalah atribut ilahiah.

bersambung....

[10] Sultan Ahmad, Islam in Perspective, Bloomington: Author House, 2011.
[11] Abu al-Qasim al-Husayn bin Muhammad al-Raghib Al-Asfahani,   al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an, Beirut: Dar al-Ma’rifah, t.t.
[12] Ghayur Ayub, Knowing the Unknown: Through Science and Sufism, Bloomington: Author House, 2016
[13] Ajat Sudrajat, Kedudukan Ruh dalam Pembentukan Karakter Manusia, Makalah untuk Seminar Nasional Pendidikan dalam Membangun Karakter dan Budaya Bangsa, 2011, FISE UNY, Yogyakarta.
[14] Jane Idelman Smith dan Yvonne Yazbeck Haddad, The Islamic Understanding of Death and Resurrection, Oxford: Oxford University Press, 2002.
[15] Yusuf Dalhat, “The Concept Of Al-Ruh (Soul) in Islam” International Journal of Education and Research, vol. 3 No. 8, pp.431-440  2015
[16] Werner Diem dan Marco Schöller, The Living and the Dead in Islam: Studies in Arabic Epitaphs, (Wiesbaden: Otto Harrassowitz Verlag, 2004)
[17] Uswatun Hasanah, “Mengungkp Rhasia Setan dalam Al-Qur’an,” Hermeneutik, vol. 7, No.1, pp.101-122, 2013
[18] Joseph P. Laycock, Spirit Possession Around the World: Possession, Communion, and Demon Expulsion Across Cultures, (California; ABC-CLIO, 2015)
[19] Kelly Bulkeley, Kate Adams, dan Patricia M. Davis, Dreaming in Christianity and Islam: Culture, Conflict, and Creativity, (: Rutgers University Press, 2009)
[20] G. Hussein Rassool, Islamic Counselling: An Introduction to Theory and Practice, (Routledge: 2015).


Komentar