Fitrah, Ruh dan Nafs: Tiga Unsur Dasar yang Membentuk Sifat Manusia [Bagian 3]
Nafs
Nafs
(jiwa) ditinjau dari segi bahasa, berasal dari bahasa Arab, Nafsun (kata
mufrad) jama’nya, anfus atau Nufusun dapat diartikkan sebagai ruh, nyawa, tubuh
dari seseorang, darah, niat, orang dan kehendak [21].
Istilah
jiwa ‘’soul’’ atau yang dalam bahasa Arab ‘’nafs’’, sering kali disama artikan
dengan ruh ‘’spirit’’, padahal keduanya memiliki sifat, pengertian dan fungsi
yang berbeda. Ruh merupakan atribut ilahiah yang ditiupkan ke tubuh manusia,
ruh bersumber dari Allah langsung, yang sifatnya suci. Berbeda dengan jiwa,
yang sifatnya diyakini bisa mengarahkan manusia kepada kejahatan dan kebaikan.
Kualitas
ganda yang bertentang dari jiwa ini, diyakini
bahwa jiwa merupakan penyebab dari tindakan dosa dan tercela lainnya.
Maka dari itu nabi Muhammad pernah besabda; “Jihad yang paling utama adalah
seseorang berjihad (berjuang) melawan dirinya (jiwa) dan hawa nafsunya”, karena
jiwa memiliki kualitas untuk mengarahkan manusia kepada perbuatan jahat.
Sedangakan
dalam al-quran, istilah nasf diidentifikasikan sebagai, jiwa, manusia,
kemampuan untu memahami, hati, dan kualitas manusia yang cenderung untuk baik
dan jahat [22].
Pengkaji
psikologi Islam meyakini bahwa jiwa memiliki tiga tahap perkembangan jiwa yang
berbeda, yaitu: nafs al ammarah bil su, nafs al lawwama, dan nafs al mutmainah.
Model ini berpendapat bahwa jiwa memiliki kecenderungan inheren menuju
pertumbuhan dan lintasan ke atas dalam kaitannya dengan model ini, karena sifat
primordialnya mengenal Tuhan [23].
Kualitas
jiwa mampu membentuk akhlak manusia, akhlak yang baik merupakan pancaran dari
jiwa yang tenang dan condong ke ketentuan-ketentuan tuhan. menurut al-Ghazali,
akhlak yang baik bersumber dari kualitas jiwa yang baik, untuk memporeleh jiwa
yang baik, seseorang harus melakukan penyucian jiwa ''tazkiyatun nafs'' [24],
yakni mengkosongkan jiwa dari sifat dan kecenderungan kepada hal-hal yang
jahat.
Al-Ghazali
dalam Ayyuhal Walad, kumpulan nasehat-nasehat kepada murid-muridnya,
menyebutkan pengendalian jiwa mampu menentukan kualitas seseorang. Kepada
muridnya, al-Ghazali memberikan nasehat:
"kecerdasan adalah orang
yang menundukkan nafsnya (diri, yaitu, keinginan jahat dan kecenderungan dari
diri yang lebih rendah) dan melakukan tindakan baik yang saleh untuk kehidupan
akhirat, sedangkan kebodohan adalah orang yang menundukkan nafsnya. untuk
kesenangan, keserakahan, dan keinginan (jahat dan sia-sia) dan berpikir bahwa
Allah beserta dia” [25].
Nafs
pada tingkat yang paling dangkal dari diri, tampaknya sesuai dengan ‘‘ego’’ dalam
perspektif psikologi. Pada tingkat terendah (nafs ammarah) ini, aspek diri ini
memegang semua kualitas dasar dari seorang individu, termasuk selera fisiknya
dan kecenderungan apa pun terhadap perilaku jahat atau perilaku yang tidak
dikehendaki. Meskipun kualitas-kualitas negatif ini ada pada setiap orang,
kebanyakan orang tidak mengalami kesulitan menjaga mereka tetap terkendali.
Ketika kualitas negatif menjadi aktif, bagaimanapun, mereka dapat menjadi
sumber tekanan psikologis [26].
Majed
A. Ashy menghubungkan tiga tahapan jiwa ini dengan kondisi kesehatan mental
seseorang. Menurutnya, keadaan diri yang paling tidak sehat adalah al-nafs
al-ammarah, atau diri yang memerintah. Ini adalah keadaan ketidaksensitifan dan
ketidakseimbangan total untuk menangkal sisi destruktif dari spectrum diri. jiwa
ini dalam konflik yang kuat dengan masyarakat dan dapat dilihat sebagai
kepribadian antisosial. Kemudian, keadaan berikutnya adalah sesuatu yang ketidakseimbangan
jiwa, al-nafs al-lawwama, atau jiwa yang menyalahkan. Jiwa ini mengembangkan
fungsi mengevaluasi dirinya sendiri dan memiliki konflik batin yang dapat
dilihat pada beberapa gangguan psikologis, seperti gangguan kecemasan. Kondisi
terkahir ialah keadaan yang ideal, keadaan jiwa yang paling tenang dan seimbang,
al-nafs al-mutmainna, atau diri damai yang tenang. Kondisi Ini adalah tujuan
jiwa. Sebagai konsekuensi dari keadaan ini ada keselarasan sempurna dalam diri
seseorang dalam setiap bidang fungsi [27].
Pemahaman
tentang jiwa di atas ini dapat dikontraskan dengan teori dasar dari
psikoanalisis Freud, id, ego, dan superego. Dengan perbandingan psikologi Islam
menganggap konflik jiwa sebagai keadaan transisi sementara, sedangkan Freud
melihatnya sebagai kondisi dasar manusia [27].
Dalam
pengalaman para mistikus Islam, jiwa adalah sesuatu yang sangat nyata, dan
banyak kisah yang menceritakan tentang yang telah dilihat di luar tubuh.
Kadang-kadang ia mengambil bentuk anjing hitam yang menginginkan makanan tetapi
harus dilatih dan dikirim pergi; mistik lainnya melihat jiwa mereka keluar dari
tenggorokan mereka dalam bentuk rubah muda atau tikus. Jiwa juga bisa
dibandingkan dengan wanita yang tidak taat yang mencoba merayu dan menipu
musafir yang malang [28].
Pemikiran modern berpendapat bahwa ruh dan nafs harus dilihat hanya sebagai dua istilah berbeda untuk satu elemen. Menurut mereka nafs lebih tepat sebagai istilah yang diterapkan pada apa yang mengarahkan kegiatan seseorang sementara melekat pada tubuh, yaitu selama hidup, sementara rūḥ adalah istilah untuk elemen yang sama ketika ia dipisahkan dari tubuh setelah kematian. Pandangan lainnya berpendapat bahwa Nafs seperti kesadaran, hilang sebagian saat tidur dan hilang sama sekali saat mati. Sedangkan Ṛūh menyertai tubuh selama hidup dan berangkat atau terpisah pada saat kematian. Pandangan ini meyakini bahwa hanya nafs yang dapat mengalami kematian, dan rūḥ tetap hidup [29].
[21]
Mahmud Yunus, Kamus Bahasa Arab Indonesia, Jakarta: Hidakarya Agung,
1989.
[22]
Gavin Picken, “Tazkiyat al-Nafs: The Qur'anic Paradigm,” Journal of Qur'anic
Studies, vol. 7, No. 2, pp.101-127, 2005.
[23]
Abdallah Rothman dan Adrian Coyle, “Toward a Framework for Islamic Psychology
and Psychotherapy: An Islamic Model of the Soul,” Journal of Religion and
Health, vol. 57, pp.1731–1744, 2018.
[24]
M. Shalihin, Tazkiyatun Nafsi dalam Perspektif Tasawuf al-Ghazali,
Bandung: Pustaka Setia, 2000.
[25]
Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali, Ayyuha al-Walad, Beirut: Dar al-Minhaj,
2014
[26]
Robert Smither dan Alireza Khorsandi, "The Implicit Personality Theory of
Islam," Psychology of Religion and Spirituality, vol. 1, No. 2,
pp.81–96, 2009.
[27]
Majed A. Ashy, “Health and Illness from an Islamic Perspective" Journal
of Religion and Health, vol. 38, No. 3, pp.241-257, (1999).
[28]
Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam, USA: The University of
North Carolina Press, 2011.
[29]
Jane Idelman Smith dan Yvonne Yazbeck Haddad, The Islamic Understanding of
Death and Resurrection, Oxford: Oxford University Press, (2002).
Komentar
Posting Komentar