Fitrah, Ruh dan Nafs: Tiga Unsur Dasar yang Membentuk Sifat Manusia [bagian 1]
Pendahuluan
Teori tentang
sifat manusia diyakini membentuk bagian dari setiap kebudayaan. Di Barat,
sebuah pertanyaan sifat mansusia terorientasi pada apakah manusia secara alami
mementingkan diri sendiri atau sosial, kooperatif.
Thomas Hobbes
percaya bahwa manusia sangat mementingkan diri sendri (selfish), manusia dapa
berkerja sama atas dasar sifat egois mereka, dan bersedia saling menyakiti jika
itu akan membantu mereka [1].
Bagi Karl Marx,
sifat manusia tidak lebih dari apa yang dibuat oleh 'hubungan sosial',
makhluk-makhluk selalu ditentukan dalam formasi sosial dan historis tertentu,
dengan beberapa aspek bersifat biologis [2]. Menurut emile Durkheim, manusia
pada dasarnya adalah hewan yang mengikuti aturan. kemampuan untuk mengikuti
aturan, dan bersedia tunduk pada disiplin, merupakan bentuk kapasitas mereka
menjadi manusia. Karena peraturan merupakan
sifatnya social mereka, maka sifat manusia pada dasarnya sosial [3].
Penelitian
terbaru dalam kajian genetika, biologi evolusioner, dan antropologi budaya
menunjukkan bahwa ada interaksi yang rumit antara faktor-faktor keturunan yang
diwariskan secara genetik dan faktor perkembangan dan sosial.
Temuan ini
dirujuk oleh humanis sekuler untuk pandangan mereka manusia sebagai makhluk
sosio-fisik (socio-physical) dengan garis keturunan yang tidak menarik dalam
kerajaan hewan, yaitu Kera. Kita adalah 'hewan sosial', yang secara biologis
lebih tinggi dan secara moral merosot.
Psikolog sosial
suka menggunakan frasa “hewan sosial” untuk menggambarkan sifat manusia.
menurut mereka ungkapan ini telah digunakan oleh banyak pemikir yang
berpengaruh, dari filsuf Yunani kuno Aristoteles sampai ke psikolog sosial
modern Elliot Aronson. Dengan memanggil orang-orang hewan sosial, para pemikir
ini mengatakan bahwa orang mencari koneksi ke orang lain dan lebih memilih
untuk hidup, bekerja, dan bermain bersama dengan orang lain [4].
Manusia dalam
konteks Islam bersifat dualistik yaitu kombinasi tubuh dan ruh. Seperti yang
Allah firmankan dalam Al-Quran,
Artinya:
(Ingatlah) ketika
Tuhanmu berfirman kepada Malaikat: "Sesungguhnya aku akan menciptakan
manusia dari tanah". Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan
Kutiupkan kepadanya roh (ciptaan)Ku; Maka hendaklah kamu tersungkur dengan
bersujud kepadaNya".
Dari sini,
seakan-akan ruh lebih utama dari tubuh, karena ruh merupakan atribut
ilahi yang bersumber darinya. Yang tidak diberikannya kepada ciptaannya selain
manusia. Karenanya bagi filosof Islam manusia merupakan makhluk spiritual
“spiritual being”.
Selain memiliki keistimewaan dengan adanya ruh, manusia juga memiliki jiwa 'nafs' yang memiliki kemampuan untuk mengkomandoi atau mensetir perilaku manusia, juga memunculkan sifat dan karakter baik dan buruk dari manusia.
Dan potensi lain yang dimiliki manusia adalah fitrah, yakni kondisi atau sifat bawaan manusia. Dalam Islam diyakini bahwa setiap orang dilahirkan dalam keadaan fitrah, keadaan suci, tidak memiliki dosa apapun.
Tulisan ini
mencoba untuk memaparkan sifat manusia dari pembacaan literature kajian Islam,
yang menyebutkan bahwa sifat manusia didasari dari beberapa unsur-unsur,
seperti konsep fitrah, ruh, dan jiwa (nafs).
Fitrah
Shabbir Akhtar
dalam bukunya yang berjudul The Quran and The Secular Mind (2008),
menyebutkan bahwa manusia merupakan puncak ciptaan Allah, makhluk yang paling
mulia, dan sebaik-baik ciptaan Allah. Semua ciptaan Allah ditundukkan kepada
umat manusia, dengan syarat bahwa manusia harus melayani Allah [5].
Kebesaran manusia di antara ciptaan
Allah tak bisa diragukan lagi, Allah berfirman;
Artinya:
Dan sesungguhnya
telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan,
Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan
kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.
(Al-Isra' :70)
Dalam Islam,
manusia dilahirkan dalam keadaan Fitrah (suci), yang memiliki beberapa
pengertian berbeda yang mengungkapkan banyak dimensi positif dan menarik dari
sifat manusia. Pertama, fitrah dipahami sebagai manusia datang ke dunia ini
tanpa noda dosa, menolak doktrin "dosa asal" yang dianut dalam agama
Kristen. Kedua, fitrah dipahami sebagai secara alamiah manusia memiliki
kecenderungan untuk bertuhan, memiliki pengetahuan tentang tuhan [6].
sumber gambar: NU Online
Yasien Mohamed
mencatat bahwa dalam mengartikan fitrah para ulama mengalami perbedaan pendapat.
Sayyid Qutb, mengartikan fitrah sebagai keadaan kebaikan dan kejahatan
intrinsic pada manusia, Abu 'Umar bin Abd al Barr, memahami fitrah sebagai
keadaan netral pada manusia, tidak baik dan tidak jahat. Sedangkan Ibn taymiyah
mengartikan fitrah sebagai keadaan kebaikan intrinsic pada manusia, ini
mewakili pandangan positif dari sifat manusia [7].
Jadi menurut
Naquib al-Attas, pengetahuan dan agama adalah dua hal yang berkorelasi dalam
sifat manusia, yaitu, sifat asli di mana Allah telah menciptakannya (fitrah),
dan tujuan manusia adalah untuk mengetahui dan melayani Tuhan ('ibãdalz) dan
tugasnya adalah ketaatan (tã'ah) kepada tuhan, yang sesuai dengan sifat
esensialnya yang diciptakan untuknya oleh Tuhan [8].
Kemampuan untuk
merasakan keberadaan tuhan lahir dalam sifat manusia (fitrah); dan ini adalah
kesadaran naluriah - yang mungkin atau mungkin tidak kemudian dikaburkan oleh
kesenangan diri atau pengaruh lingkungan yang merugikan - yang membuat setiap
manusia waras "bersaksi tentang dirinya sendiri" di hadapan Allah [9].
Terlepas dari sifat manusia adalah fitrah memiliki pengetahuan tentangan tuhan, namun masih ada saja umat manusia yang menolak dan mengingkari keberadaan tuhan. ini mungkin didasari dari factor jiwa manusia yang memiliki kecenderungan untuk mengarah kepada kebaikan dan kejahatan, juga dilalaikan karena kesenangan dunia yang fana ini.
bersambung...
[1]
Thomas Hobbes, Thomas Hobbes: Leviathan (Longman Library of Primary Sources
in Philosophy), ed. Marshall Missner, London: Routledge, 2016.
[2]
Norman Geras, Marx and Human Nature: Refutation of a Legend, London:
Verso, 1983
[3]
Jeff Weintraub, Some Reflections on Durkheim’s Concept of Human Nature:
Preliminary Expectorations. Unpublished manuscript. University of California,
Berkeley, 1974.
[4]
Roy F. Baumeister dan Brad J. Bushman, Social psychology and human nature,
brief version, USA: Wardsworth, 2013.
[5]
Shabbir Akhtar, The Quran and the
Secular Mind: A philosophy of Islam, New York: Routledge, 2007
[6]
Abdul Razak, et al. "Human Nature in Islam." dalam Selected
Readings in Educational Psychology, p.73-92, Kuala Lumpur: IIUM Press,
2011.
[7]
Yasien Mohamed,The Islamic Conception of Human Nature with Special Reference
to The Development of an Islamic Psychology, Doctoral dissertation,
University of Cape Town, 1986.
[8]
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam: An
Exposition of the Fundamental Elements of the Worldview of Islam. Kuala
Lumpur: International Institute of Islamic of Thought and Civilization, 1995.
[9] Muhammad Asad, The Message of The Quran,
Gibraltar: Dar Al-Andalus, 1980.
Komentar
Posting Komentar