Kerja Kemanusiaan Itu Banyak Ragamnya...
Baru-baru ini, Jack Ma, pendiri Alibaba dan merupakan salah satu orang terkaya di Cina mengumumkan bahwa di tahun depan tepatnya September 2019, dia akan mengundurkan diri dari kursi pimpinan puncak Alibaba Group. Sebenarnya, Jack Ma tidak sepenuhnya meninggalkan perusahaan rintisannya tersebut, dia masih akan menjabat sebagai dewan direksi. Posisi sebagai dewan direksi menjadikan Jack Ma memiliki banyak waktu luang hingga ia berencana untuk memfokuskan diri pada kegiatan amal dan pendidikan, kerja kemanusiaan melalui yayasan Alibaba Foundation dan Jack Ma Foundation.
source: washingtonpost.com
Berfokus pada kegiatan kerja kemanusiaan sebagai filantropis telah menjadi gaya hidup orang-orang kaya. Mendermakan harta mereka melimpah untuk kesejahteraan manusia, dan mendonasikan harta mereka untuk proyek-proyek kemanusian, mereka mulai peka dengan isu-isu kemanusiaan di akhir hidup mereka. Ketika pencapaian dan kesuksesan dalam berbisnis telah mereka raih, serta penghargaan dan pengakuan dunia atas prestasi mereka. Apa yang mereka lakukan setelah semua ini ialah pengabdian kepada kemanusia, dengan kekayaan yang dimiliki, mereka berbondong-bondong menjadi filantropis, seperti Bill Gates, Warren Buffett, Mark Zuckerberg, dan milyarder-milyarder dunia lainnya.
Namun, apa harus sukses dulu, punya banyak uang dulu untuk bisa menjadi pekerja kemanusiaan. Tentu jawabannya “tidak”. Sudah banyak para pekerja kemanusiaan yang melakukannya, mereka tidak menunggu sukses atau memiliki banyak uang dulu untuk menjadi seorang pekerja kemanusian.
Menjadi pekerja kemanusiaan itu banyak ragamnya, bisa sebagai filantropis, social entrepreneur atau relawan bencana alam dan konflik perang. Kerja kemanusiaan sebagai filantropis itu level para orang-orang kaya, mereka yang memiliki harta melimpah. Seseorang yang memiliki kepekaan terhadap problem masyarakat, memiliki jiwa inovasi dan pengetahuan bisa mengabdikan diri sebagai social entrepreneur. Seperti Arunachalam Muruganantham, seorang social entrepreneur dari India, yang kisah inspirasi hidupnya diangkat menjadi sebuah film berjudul Padman (2018). Beranjak dari problem umum masyarakat di India, yakni krisis pembalut bagi wanita India dan mahalnya harga pembalut, Muruganantham akhirnya melakukan pekerjaan dan inovasi untuk mengatasi masalah tersebut dengan menciptakan mesin pembuat pembalut berbiaya rendah. Muruganantham tidak berupaya mematenkan penemuannya atau mengkomersialkannya. Dia menggratiskan penemuannya untuk diperbanyak. Menurut Muruganantham dalam persentasinya di konferensi TEDTalk, jika seseorang mengejar uang, hidup mereka tidak akan memiliki keindahan apa pun, Itu adalah kebosanan. Banyak sekali orang menghasilkan banyak uang, miliaran dolar terkumpulkan. Mengapa pada akhirnya mereka menjadi filantropi?. Mengapa perlu mengumpulkan uang dulu, lalu melakukan filantropi? Bagaimana jika seseorang memutuskan untuk memulai filantropi sejak hari pertama?.
source: bbc.com
Di Indonesia juga memiliki seorang social entrepreneur, bernama Gamal Albinsaid, yang merupakan CEO Indonesia Medika. Inovasinya di bidang kesehatan dengan program Klinik Asuransi Sampah dan Homedika. Klinik Asurasi Sampah merupakan asuransi kesehatan yang berbasis sampah sebagai sumber pembiayaan, sedangkan Homedika adalah sebuah platform digital untuk kesehatan, yang menghubungkan tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan dengan masyarakat yang membutuhkan layanan kesehatan. Dengan inovasinya di bidang kesehatan, Gamal Albinsaid telah banyak mendapatkan penghargaan di kancah internasional, seperti penghargaan HRH The Prince of Wales Young Sustainability Entrepreneurship First Winner 2014. Dan sekali lagi, Gamal Albinsaid membuktikan bahwa untuk menjadi pekerja kemanusiaan tidak perlu menunggu sukses dulu, memiliki banyak uang dulu. Sebenarnya, ada sangat banyak tokoh-tokoh seperti Arunachalam Muruganantham dan Gamal Albinsaid di dunia ini, tokoh-tokoh yang memulai pekerjaan mereka dengan niat kemanusiaan.
Ada juga seseorang yang tergerak menjadi pekerja kemanusiaan sebagai relawan, baik relawan bencana alam maupun relawan konflik perang. Sebagai relawan di daerah bencana atau konflik adalah kerja kemanusian terberat dibandingkan sebagai filantropis dan social enterprenuer. Mereka dituntut untuk meninggalkan zona nyaman mereka, meninggalkan keluarga dan lingkungan mereka untuk tugas kemanusiaan, dan yang pastinya berada di zona yang orang sama sekali tidak ingin ke sana, zona bencana alam atau konflik perang. Secara warasnya orang-orang pastilah tidak ingin berada di zona tersebut karena akan membahayakan diri mereka. Namun bagi para relawan, ada panggilan jiwa pada diri mereka untuk berada di sana, membantu para korban bencana maupun pengungsi konflik perang.
Komentar
Posting Komentar