Mengenal Nietzsche: Cerita Tentang Kehidupan Awal Nietzsche

Google Image

Friedrich Wilhelm Nietzsche (1844 - 1900) adalah seorang filosuf Jerman,  dia juga seorang kritikus budaya, penyair, dan pakar filologi. Melalui karyanya,  pemikiran Nietzsche telah mempengaruhi filsafat Barat dan sejarah intelektual modern. Sebelum dikenal sebagai filosuf, Nietzsche memulai karirnya sebagai filolog klasik hingga membawanya menjadi filolog termuda yang pernah menjabat sebagai ketua Filologi Klasik di Universitas Basel pada tahun 1869, tepat ketika ia berusia 24.

Nietzsche dikatakan sebagai pemikir revolusioner ketiga dalam filsafat abad ke-19 setelah Marx dan Kierkegaard. Nietzsche mengidentitaskan dirinya sebagai penghancur dan pemberontak melalui perkataannya, “aku bukan manusia, aku dinamit… Aku menentang sebagaimana belum pernah ada yang menentang”.

Nietzsche dilahirkan di Rocken (Saxe-Prussia) pada tanggal 15 Oktober 1844. Ayahnya adalah Karl Ludwig Nitzsche dan ibunya adalah Franziska Oehler. Sumber lain menyebutkan, pemberian nama baptis “Friedrich” merupakan penghormatan kepada kaisar Prusia Friedrich Wilhelm IV yang memiliki tanggal lahir yang sama dengan Nietzsche, ayah Nietzsche adalah pengagum sang kaisar Prusia.
Nietzsche memiliki seorang adik perempuan yang bernama Elisabeth, dilahirkan pada 1846, dua tahun setelah Nietzsche dilahirkan. serta adik laki-laki Ludwig Joseph (1848-1850) yang hanya hidup selama 2 tahun.

Keluarga Nietzsche dikenal di lingkungan tempat tinggalnya sebagai keluarga yang agamis lagi saleh. Ayah Nietzche merupakan seorang pendeta, begitu pula kekeknya, Friedrich August Ludwig juga seorang pendeta. Basic keluarga religious inilah yang nantinya mengantarkan Nietzsche untuk mengambil jurusan Teologi saat menjadi mahasiswa di Universitas di Bonn.

Saat Nietzsche berusia 5 tahun, ayahnya meninggal dunia pada tahun 1895, kemudian disusul adik laki-laki Nietzsche pada tahun 1850. Paul Strathern dalam Nietzsche in 90 Minutes menyebutkan “ketiga lelaki itu (sang kakek, sang ayah, dan sang anak yakni Nietzsche) meninggal dalam keadaan gila. Sang ayah, Ludwig Nietzsche didiognosa oleh dokter menderita penyakit “melemahnya otak”, dan hasil otopsi jelas mengungkapkan bahwa seperempat bagian otaknya telah rusak akibat “pelemahan” itu. Apakah penyakit ini penyakit turunan masih diragukan, karena banyak penulis biografi Nietzsche yang terkenal begitu yakin kegilaan ayahnya itu tidak turun pada putranya.

Setelah sang ayah meninggal di tahun 1845 dan disusul sang adik kecil di tahun  1850, keluarga Nietzsche pindah ke Naumburg yang kota asal nenek Nietzsche, mencoba memulai fase hidup baru. Di sana Nietzsche tinggal bersama ibu dan adiknya, dan juga kedua tante dan neneknya. Perubahan lingkungan dan suasana hidup baru barangkali mampu sebagai pereda kesedihan atas kematian ayah dan adik bagi mereka bertiga.

Di kota ini Nietzsche memiliki dua teman akrab, Wilhelm Pinder dan Gustav Krug. Ayah Pinder adalah seorang anggota dewan kota dan pencinta sastra. Dia  sering membacakan karya Goethe (Johan Wolgang von Goethe, 1749-1832) pada ketiga anak ini. Sedangkan ayah Krug adalah seorang musisi amatir, dan dapat diperkirakan bahwa kesukaan Nietzsche terhadap music berasal dari ayah Krug, Nietzsche sering berlatih piano dengannya.

Sebelum bersekolah di Domgymnasium, Nietzsche kecil bersama dua teman akrabya masuk ke lembaga pendidikan yang bernama Institute, sebuah private school yang bertujuan mempersiapkan anak-anak agar bias masuk di sekolah  Domgymnasium dan institusi pendidikan lainnya. Di sini Nietzsche dijuluki "pendeta kecil" ini tidak hanya karena keterkaitannya dan karena tingkah lakunya Nietzsche, tetapi juga karena dia dapat mengutip ayat-ayat yang panjang dari Alkitab dengan sangat hati-hati. Di sini juga, Nietzsche pertama kali bersentuhan dengan pelajaran bahasa Latin dan Yunani. Pada sumber lain, Anthony Storr menyebutkan, di akhir tahun belajar di Institute, tahun 1854, Nietzsche sudah aktif menulis puisi, dan mengkompossi musik.

Umur 11 tahun, Nietzsche berasama dua temannya Pinder dan Krug masuk sekolah Domgymnasium (cathedral school), sampai tahun 1858. Setelah empat tahun bersekolah di Domgymnasium, Nietzsche memperoleh beasiswa pendidikan di Schulpforta. Beasiswa tersebut menurut Pletsch sepertinya ditawarkan kepadanya karena statusnya sebagai seorang “yatim piatu”. Adapun pencapaiannya sebagai seorang pelajar,  baik di Institute ataupun Domgymnasium dia tidak benar-benar unggul dalam mata pelajaran sekolahnya. Dan menurut Elizabeth, adiknya Nietzsche, juga mengatakan bahwa nilai mata pelajaran sang kakak tidak jauh beda dengan nilai teman-temannya (saya lupa buku sumber rujukan penyataan Elizabeth ini)

Sekolah Schulpforta berada di luar kota Naumburg, beberapa kilometer dari kota tersebut. Sekolah ini menggunakan sistem boarding, yang mewajibkan para murid untuk tinggal di asrama sekolah yang telah disediakan. Di Schulpforta, Nietzsche mendalami bahasa Yunani dan Latin secara serius, bahasa yang wajib dikuasai sebagai bekal untuk menjadi seorang ahli filologi. Nietzsche juga mempelajari bahasa Hibrani, namun dia tidak berhasil menguasainya dikarena kesukaran dalam mempalaji bahasa HIbrani. Tata bahasa Hibrani adalah rumpun bahasa Semit yang menurut Nietzsche dirasa terlalu sulit.

Bersama dengan teman-temannya, Nietzsche membentuk komunitas penyuka sastra bernama Germania, karena kekagumannya dengan karya-karya klasik Yunani dan kejeniusan para pengarangnya. Kegiatan kelompok mereka tak lain mendiskusikan karya-karya sastra klasik Yunani yang bermutu, berupa artikel-artikel dan puisi. Berada di kelompok ini melatih Nietzsche untuk mengungkapkan  pemikiran dan emosinya dalam sebuah puisi dan tulisan opini.

Pada tahun-tahun terakhir bersekolah di Schulpforta, Nietzsche mulai menunjukkan pemikiran liarnya, nampak dari tulisannya yang berjudul ohne Heimet (Tanpa Kampung Halaman). Sajak puisinya ini berisi gejolak hatinya yang ingin bebas dan minta dipahami. Sikap lain yang mucul dari Nietzsche ialah keraguan akan keimanannya dan agama. (bersambung)

Sumber:
Wikipedia
Hardcopy
Franz M. Suseno, 13 Tokoh Etika, Cet. Ke-7 (Yogyakarta: Kanisius, 2003)
Softcopy : Gbooks
St Sunardi, Nietzsche (Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara, 2006)
Roy Jackson, Nietzsche: A Complete Introduction, (US: McGraw-Hill, 2014)
Roy Jackson, Nietzsche - The Key Ideas (England: Hodder & Stoughton, 2010)
Daniel Blue, The Making of Friedrich Nietzsche: The Quest for Identity, 1844–1869 (UK: Cambridge University Press, 2016)
A. Phillips Griffiths, Philosophy, Psychology and Psychiatry (USA: Cambridge University Press, 1994)
Weaver Santaniello, Nietzsche and the Gods (USA: State University of New York Press, 2001)
Carl Pletsch, Young Nietzsche: Becoming a Genius (USA: Free Press, 1992)







Komentar