Hubungan Positif dalam Perspektif Psikologi dan Kesehatan

Tema positive relationship (hubungan positif) dengan orang lain telah menjadi perbincangan dalam kontruksi teoritik well-being (kesejahteraan), terkhusus mereka yang melakukan penelitian  well-being menggunakan pendekatan eudaimonia.

Be Positive

Martin Seligman, seorang pendiri mazhab psikologi positif dalam buku Beyond Authentic Happiness menceritakan; saat dia meminta penjelasan kepada temannya, Christopher Peterson, mengenai psikologi positif dalam dua kata atau kurang. Peterson menjawab “orang lain”.

Seligman menjelaskan, sesuatu yang positif itu sangat jarang sekali berdiri sendiri. Kapan terakhir kali anda tertawa terpingkal-pingkal? Kapan terakhir kali anda merasakan kebahagian yang tak bias dijelaskan? Kapan terakhir kali anda merasakan makna dan tujuan hidup? Kapan terakhir kali anda merasa bangga dengan prestasi anda?. Bentuk semua ekspresi kebahagian di atas, semuanya terjadi di sekitar orang lain.


Beyond Authentic Happiness

Kebahagiaan melalui hubungan positif dengan orang lain yang digambarkan oleh Seligman ini, merupakan kebahagian yang terikat  atau  kebahagiaan yang bersifat tidak mandiri. Dikatakan seperti itu karena kebahagiaan digambarkan sebagai sebuah konsep berupa perasaan yang membutuhkan stimulus untuk memunculkannya.

Ryff yang membangun teori kesejahteraan psikologis (psychological well-being) mencantumkan hubungan positif sebagai salah satu indikatornya. Menurut Ryff, banyak teori kepribadian sehat menjadikan hubungan positif sebagai karakteristiknya, seperti kepribadian dewasa (maturity) Allport dan kepribadiaan aktualisasi diri (self-actualization) Maslow.

Mereka yang berkepribadian dewasa (dewasa secara psikologis) menurut Allport bercirikan memiliki hubungan yang hangat dengan orang lain (warm relationships with others). Yang Nampak dari hubungan yang hangat Allport ini ialah rasa keintiman. empati, dan toleran. Mereka yang dewasa secara psikologis mampu menunjukan keintiman (berupa cinta)  terhadap orangtua, saudara, anak, teman dan partner kerja, mereka sangat mudah tersentuh berempati dengan kondisi orang lain, dan  toleran (tidak cepat menghakimi) terhadap kesalahan dan kekurang orang lain.

Dalam teori kepribadian sehat aktualisasi diri Maslow, mereka yang telah mencapai aktualisasi diri memiliki hubungan antar pribadi yang kuat, hubungan yang didasarkan rasa cinta, persahabatan, dan identifikasi yang dalam terhadap individu-individu lain. Namun hubungan ini berbeda diantara mereka yang beraktualisasi diri dan mereka yang berpsikologis biasa (tidak mengaktualisasikan diri), hubung yang kurang kuat. Kendati hubungannya berbeda, mereka tidak meremehkan orang lain, mereka tetap berinteraksi dengan baik. Memang, pada dasarnya manusia merasa tertarik dan senang jika berada di sekitar orang lain yang memiliki kesamaan nilai dan sifat.

Islam sebagai sebuah ajaran yang memberikan penjelasan bagaimana menjalani kehidupan (way of life) telah menjelaskan arti penting sebuah hubungan social ini. Melalui ajaran silaturahmi Rasulullah memerintahkan umatnya untuk membangun hubungan positif di antara mereka.

Rasulullah bersabda:
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ أَوْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ

“Barang siapa yang ingin dilapangkan rezki dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia menyambung tali silaturahmi” (Muttafaqun ‘alaihi).

Ada banyak bukti ilmiah yang menunjukkan bahwa keterlibatan dalam hubungan sosial bermanfaat bagi kesehatan. Seperti penelitian prospektif kematian yang menemukan hasil bahwa.

individu yang rendah tingkat keterlibatannya dalam hubungan sosial lebih mungkin (cepat) meninggal daripada mereka yang lebih besar memiliki keterlibatan hubung social (House, Landis, dan Umberson 1988). Penelitian lain, Berkman dan Syme (1979) menyimpulkan bahwa resiko kematian di kalangan pria dan wanita dengan ikatan sosial paling sedikit dua kali lebih tinggi daripada resiko orang dewasa dengan ikatan sosial paling banyak.

Terkait pengaruh hubungan sosial terhadap luasnya reziki tidak perlu dibahas dengan panjang lembar. Cukup mengambil contoh ringan saja, tatkala kita tidak punya uang, kehabisan uang maka kepada teman dekat lah reziki kita diperoleh sementara (argument ngaur….)

Dalam konteks pekerjaan (mencari nafkah), memiliki hubungan positif dengan orang lain akan memperluas relasi bisnis, logikanya, seseorang tidak mungkin menjalin kerjasama dengan orang lain yang tidak dikenalnya dan dipercayanya. Bagi pekerja kantoran, memiliki hubungan positif dengan dengan atasan mampu mengukuhkan jabatan dan melenggangkan karir pekerjaan.

Bagaimanapun manfaat dan pentingnya sebuah hubungan social yang positif, janganlah dijadikan manfaat tersebut sebagai tujuan untuk membangung hubungan positif. Kita semua adalah makhluk sosial yang tidak bisa lepas dari melakukan interaksi social, bangunlah hubungan social atas dasar kita sebagai makhluk yang memiliki akal dan standar moral, yang mampu memilah kebaikan di antara keburukan dalam berinteraksi.

Menggantungkan harapan dan tujuan dalam interaksi adalah sikap egois, jika terjadi ketidaksesuaian usaha dan hasil maka hanya akan menambah penderitaan batin.

Sumber bacaan:
Martin Seligman, Beyond Authentic Happiness, Bandung: Penerbit Kaifa, (2013)
Duane Schultz, Psikologi Pertumbuhan: Model-Model Kepribadian Sehat, Yogyakarta, Kanisius, (2002)
Carol D. Ryff, “Happiness Is Everything, or Is It? Explorations on the Meaning of Psychological Well-Being,” Journal of Personality and Social Psychology  Vol. 57, No. 6, (1989),1069-1081
Debra Umberson dan Jennifer Karas Montez, “Social Relationships and Health: A Flashpoint for Health Policy,” Journal Health and Social Behavior, 51 (2010); (jurnal bias diakses di link; https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3150158/)





Komentar